Beranda | Artikel
Pindah Pulau karena Takut Gempa
Selasa, 16 Oktober 2018

Pindah Pulau karena Takut Gempa

Mohon maaf ustadz,

LIPI pernah mengumumkan bahwa ada potensi gempa besar di pulau Jawa termasuk di Jakarta, apakah jika saya memutuskan pindah ke pulau lain itu termasuk takut yang berlebihan yg dilarang agama? Karena ada yang menganggap itu termasuk kategori takut yang syirik, apakah takut syirik itu dan apa batasannya?.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pertama, kita perlu menyadari bahwa adanya bencana adalah cara Allah mengingatkan hamba-Nya, agar mereka semakin takut kepada Allah.

Allah berfirman,

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآَيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

“Tidaklah kami mengirim ayat-ayat itu selain untuk menakut-nakuti (hamba).” (al-Isra: 59)

Yang dimaksud “ayat-ayat itu” adalah semua tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah, baik yang ada di lingkungan sekitarnya, termasuk mukjizat yang Allah berikan kepada para nabi.

Tujuan Allah menciptakan semua fenomena alam, untuk menunjukkan ke-Maha Kuasan Allah kepada hamba-Nya. Sehingga semakin menambah rasa takut mereka kepada-Nya. Termasuk peristiwa gempa bumi, tsunami, gerhana Matahari, dst.

Bagi orang kafir, mereka melihat kejadian ini tanpa pernah terbayang tentang siapa penciptanya. Mereka hanya memikirkan, ini hanya fenomena alam dan tidak ada hubunganya dengan Tuhan.

Berbeda dengan seorang muslim, kejadian semacam ini bukan hanya sebatas fenomena alam. Namun itu adalah peringatan agar manusia semakin takut kepada Sang Kuasa. Karena mereka mengimani bahwa ini semua ada penciptanya.

Sikap semacam inilah yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau melihat fenomena alam, sampaipun hanya mendung gelap, terlihat roman ketakutan di wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى نَاشِئًا فِيْ أُفُقٍ مِنْ آفَاقِ السَّمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ – وَإِنْ كَانَ فِيْ صَلاَتِهِ – ثُمَ أَقْبَلَ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهُ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ : اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– apabila melihat mendung di ufuk langit, maka beliau meninggalkan aktivitasnya, meskipun dalam keadaan shalat, kemudian menghadap kepadanya. Apabila Allah menyingkapnya, maka beliau memuji-Nya dan apabila turun hujan, beliau berdoa, ‘Ya Allah jadikanlah hujan ini adalah hujan yang bermanfaat’.” (HR. Bukhari Adabul mufrad)

Ketakutan yang terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah takut kepada Allah. Beliau takut, jangan-jangan Allah murka kepada hamba-Nya, disebabkan kemaksiatan mereka. Kemudian Allah mendatangkan adzab kepada mereka.

Kedua, bahwa sebab utama Allah menghukum hamba-Nya dengan bencana alam adalah karena maksiat yang dilakukan para hamba. Kemudian memberikan peringatan kepada hamba-Nya dalam bentuk musibah dan bencana alam. Terkadang dalam bentuk angin kencang yang memporak-porandakan berbagai bangunan, terkadang dalam bentuk gelombang pasang, hujan besar yang menyebabkan banjir, gempa bumi, termasuk peperangan di antara umat manusia.

Allah berfirman,

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ

“Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain…” (QS. Al-An’am: 65)

Ada banyak ayat yang menegaskan bahwa sebab bencana, terutama gempa dan penenggelaman manusia di bumi, adalah karena maksiat.

Diantaranya firman Allah,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Allah menyebut maksiat manusia sebagai makar, dan adzab bisa jadi akan turun secara tiba-tiba tanpa ada aba-aba,

أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الْأَرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ * أَوْ يَأْخُذَهُمْ فِي تَقَلُّبِهِمْ فَمَا هُمْ بِمُعْجِزِين

“Maka apakah orang-orang yang membuat makar dengan melakukan maksiat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. Atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu).” (QS. An-Nahl: 45 – 46)

Allah juga mengingatkan, bisa jadi balasan makar Allah untuk hamba-Nya yang membangkang, datang ketika mereka sedang tidur,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ

“Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?” (QS. Al-A’raf: 97)

Allah juga menegaskan bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, disebabkan perbuatan maksiat yang pernah mereka lakukan. Allah berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Setiap musibah yang menimpa kalian, disebabkan perbuatan tangan kalian, dan Allah memberi ampunan terhadap banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30)

Allah juga menceritakan keadaan umat sebelum kita,

فَكُلّاً أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِباً وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Masing-masing Kami adzab disebabkan dosa mereka. Di antara mereka ada yang kami kirimi angin kencang, di antara meraka ada yang dimusnahkan dengan teriakan yang sangat pekak, ada yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidaklah menzalimi mereka, namun mereka yang bersikap zalim pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

Ibnul Qayyim juga menjelaskan bahwa gempa bumi ini terjadi agar manusia meninggalkan kemaksiatan dan kembali kepada Allah, beliau mengatakan,

ﺃﺫﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻟﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﻴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺘﻨﻔﺲ ﻓﺘﺤﺪﺙ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺰﻻﺯﻝ ﺍﻟﻌﻈﺎﻡ ﻓﻴﺤﺪﺙ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻟﻌﺒﺎﺩﻩ ﺍﻟﺨﻮﻑ ﻭﺍﻟﺨﺸﻴﺔ ﻭﺍﻹﻧﺎﺑﺔ ﻭﺍﻹﻗﻼﻉ ﻋﻦ ﻣﻌﺎﺻﻴﻪ ﻭﺍﻟﺘﻀﺮﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺍﻟﻨﺪﻡ

“Allah –Subhanahu wa Ta’ala– terkadang mengizinkan bumi untuk bernafas maka terjadilah gempa bumi yang dasyat, sehingga hamba-hamba Allah ketakutan dan mau kembali kepada-Nya, meninggalkan kemaksiatan dan merendahkan diri kepada Allah dan menyesal” (Miftah Daris Sa’adah, 1/221).

Keterangan BMKG dan LIPI

Kita tidak menolak orang yang menisbahkan bencana kepada sebab indrawi (sebab hissi), seperti keterangan LIPI atau BMKG mengenai potensi gempa di daerah tertentu, karena adanya pergeseran lempeng tanah.

Atau potensi angin kencang karena adanya perbedaan suhu yang sangat drastis atau alasan fisika bumi lainnya.

Namun kita perlu ingat, bahwa semua fenomena alam itu, terjadi atas takdir Allah. Dialah Dzat yang mengatur seluruh alam.

Sehingga, adanya akibat kita kembalikan kepada sebab utama, mengapa Allah mendatangkan fenomena semacam ini?

Jika al-Quran menjawab, sebab utamanya adalah maksiat, maka sebagai orang yang beriman, kita wajib meyakini dan menerimanya.

Setelah kita sepakat bahwa sebab utama bencana adalah maksiat, berarti potensi semacam ini bisa saja terjadi di manapun, kapan-pun sesuai yang Allah kehendaki. Sehingga kita kembali berlindung kepada Allah, dengan memohon ampun kepada-Nya dan bukan mencari perlindungan kepada makhluk.

Ketika si A akan ditakdirkan oleh Allah dengan tenggelam karena tsunami, meskipun dia lari menghindari lautan, ketetapan itu tidak akan berubah. Sekalipun manusia meninggalkan pulau jawa karena ketakutan potensi gempa, namun Allah takdirkan meraka ini yang akan terkena gempa, sangat mudah bagi Allah untuk memindahkan gempa itu ke wilayah yang lain.

Ketiga, takut potensi gempa

Takut kepada potensi bencana termasuk ketakutan normal (khauf thabi’i). Namun jika potensi itu sangat tidak jelas, maka ini termasuk takut khayalan (khauf wahmi), sesuatu yang selayaknya tidak perlu ditakuti. Takut yang berlebihan, menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban ber-tawakkal.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

الخوف الطبيعي والجبلي في الأصل مباح ، لقوله تعالى عن موسى : ( فخرج منها خائفا يترقب ) ، وقوله عنه أيضا : ( رب إني قتلت منهم نفسا فأخاف أن يقتلون ) ، لكن إن حمل على ترك واجب أو فعل محرم فهو محرم.”

Takut alami pada asalnya mubah. Berdasarkan firman Allah tentang Musa (yang artinya), “Keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir.” Juga firman Allah tentang Musa di ayat lain, (yang artinya) “Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”. Namun jika takut ini menyebabkan orang meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 10/648).

Dan takut wahmi hanya terjadi pada orang yang imannya sangat lemah, karena tawakkalnya yang rendah. Seperti orang yang takut keluar rumah, karena khawatir terjadi kecelakaan atau takut semua jenis makanan karena khawatir terkena penyakit, dst.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شرُّ ما في رجل شحٌّ هالع، وجبن خالع

“Karakter paling buruk yang ada pada diri seseorang, pelit karena takut miskin dan pengecut yang gampang takut.” (HR. Ahmad 8010, Abu Daud 2513 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan obat untuk mengatasi takut semacam ini adalah belajar bertawakkal kepada Allah.

Sebelum Abu Sufyan masuk islam, dia mengirim ancaman kepada kaum musllimin, bahwa dia akan menyiapkan pasukan yang sangat besar untuk menyerang Madinah. Mendengar ancaman itu, mukminin Madinah tidak takut, mereka bertambah iman dan bertawakkal kepada Allah.

Allah berfirman,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia[250] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)

Sebaliknya, karakter gampang takut, hanya terjadi pada orang munafik. Karena mereka sama sekali tidak memiliki tawakkal kepada Allah. Mereka hidup diselimuti dengan ketakutan. Mereka bermuka dua, bisa berpidah kepada orang kafir, bisa juga berpihak kepada mukmin, yang penting mereka bisa aman.

Allah berfirman menceritakan karakter mereka di surat al-Hasyr,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab (Bani Nadhir): “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.” Dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta

Mereka demikian penakut, hingga di lanjutan ayat Allah menyebut mereka sebagai orang bodoh yang suka gagal paham,

لَأَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِي صُدُورِهِمْ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ

Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (QS. al-Hasyr: 11 dan 13)

Mereka disebut orang yang tidak mengerti, karena mereka tidak memahami bahwa takut yang sejatinya adalah takut kepada Allah, bukan kepada makhluk, menggantungkan harapan dan berlindung kepada Allah, bukan kepada makhluk , dst. namun mereka lebih bergantung kepada makhluk. (Tafsir Ibnu Sa’di, hlm. 851)

Bisa saja, perasaan semacam ini menggelayuti perasaan kaum muslimin. Ketakutan yang berlebihan, sehingga membuat mereka mencari perlindungan kepada makhluk.

Keempat, disamping kita diajarkan untuk takut terhadap adzab Allah ketika peristiwa bencana, kita juga harus menaruh harapan kepada Allah. Karena dua hal ini, yaitu raja’ (rasa harap) dan khauf (rasa takut) adalah keseimbangan yang Allah ajarkan dalam al-Quran. Setelah Allah bercerita tentang surga, Allah bercerita tentang neraka. Setelah Allah bercerita tentang orang soleh yang mendapatkan balasan kebaikan, Allah bercerita tentang orang jahat yang mendapatkan hukuman keburukan.

Inilah keseimbangan, agar hamba selalu kembali kepada Allah. Tidak hanya sebatas takut, sehingga menyebabkan mereka putus asa dari rahmat Allah, dan juga tidak hanya besar harapan, sehingga membuat mereka lupa diri.

Allah berfirman,

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Sampaikan kepada para hamba-Ku, bahwa Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Ayat ini memberikan harapan sangat besar. Kemudian Allah sebutkan di lanjutan ayat,

وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الأَلِيمَ

“Dan bahwasanya hukuman-Ku adalah adzab yang pedih.” (QS. al-Hijr: 49-50)

Ketika seorang mukmin memiliki harapan kepada Allah, maka dia akan berusaha mendekat kepada Allah, dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.. Allah tidak akan mengadzab hamba-Nya yang bertaqwa…

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/33437-pindah-pulau-karena-takut-gempa.html